قال رسول الله صلىالله عليه وسلم مَنْ وَرَّخَ مُسْلِمًا فَكَأَ نَّمَا اَحْيَاهُ وَمَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَ نَّمَا زَارَنِى وَمَنْ زَارَنِى بَعْدَ وَفَاتِى وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِى. روه ابو داود وترمذى


Barang siapa membuat tarekh (Biografi) seorang muslim, maka sama dengan menghidupkannya. Dan barang siapa ziarah kepada seorang Alim, maka sama dengan ziarah kepadaku (Nabi SAW). Dan barang siapa berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka wajib baginya mendapat syafatku di Hari Qiyamat. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).


Rabu, September 30, 2009

Biografi KHM. Hasyim Asy'ari

Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.

Dilihat dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang pemimpin agama yang berkedudukan baik dan mulia. KHM. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI (Lembupeteng). Garis keturunan ini bila ditelusuri lewat ibundanya sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran Nawa bin Joko Tingkir alias Mas Karebet bin Prabu Brawijaya VI.

Semenjak masih anak-anak, Muhammad Hasyim dikenal cerdas dan rajin belajar. Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.

Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim sebagai musyafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari pondok satu ke pondok yang lain, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi. Muhammad Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926, KHM. Hasyim Asy’ari bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah serta para ulama yang lain mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.

KHM. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau dihadapan para ulama peserta Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu kemudian dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.

Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KHM. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Dengan segala kemampuannya, Tebuireng kemudian berkembang menjadi “pabrik” pencetak kiai. Sehingga pemerintah Jepang perlu mendata jumlah kiai di Jawa yang “dibikin” di Tebuireng. Pada tahun 1942 Sambu Bappang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data tentang jumlah kiai di Jawa mencapai dua puluh lima ribu kiai. Kesemuanya itu merupakan alumnus Tebuireng.

Dari sini dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad XX. Ribuan kiai di Jawa hampir seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Karena itu tidaklah heran bila kemudian juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin para kiai yang gigih mempertahankan madzhab, yang akhirnya berada dalam satu barisan “Nahdlatul Ulama”, semua itu dapat dipahami sebagai hasil pengabdian Hadratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari dalam perjalanan yang cukup panjang.

Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.

Karena sikap dan sifat kepahlawanan serta keulamaannya, maka tidak henti-hentinya pemerintah kolonial berusaha membujuknya. Pada tahun 1937 misalnya, pernah datang kepada beliau seorang amtenar utusan Hindia Belanda bermaksud memberikan tanda jasa berupa “bintang” terbuat dari perak dan emas. Tetapi Kiai Hasyim menolak, dan kemudian beliau bergegas mengumpulkan para santrinya dan berkata :

“Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat; pada suatu ketika dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh pamannya, Abu Thalib, dan diberitahu bahwasannya pemerintah jahiliyah di Makkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi Muhammad SAW: kedudukan yang tinggi, harta benda yang berlimpah dan gadis yang cantik. Akan tetapi, Baginda Muhammad SAW menolak ketiga-tiganya itu, dan berkata di hadapan pamannya, Abu Thalib: ‘Demi Allah, umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tidak akan mau. Dan aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata di mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban’. Maka kamu sekalian anakku, hendaknya dapat mencontoh Baginda Muhammad SAW dalam menghadapi segala persoalan….”.

Sikap seperti itu terulang pada saat Jepang berkuasa. Kedatangan Jepang disertai kebudayaan ‘Saikerei’ yaitu mnghormati Kaisar Jepang “Tenno Heika” dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo, yang harus dilakukan oleh seluruh penduduk dengan cara berbaris setiap pagi sekitar jam 07.00 WIB tanpa kecuali baik itu anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. KHM. Asy’ari menentangnya.

Melakukan ‘saikerei’ menurut pandangan para ulama adalah ‘haram’ dan dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ‘ruku’ dalam sholat, yang hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Selain Allah, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit, haramlah diberi hormat dalam bentuk ‘sakerei’ yang menyerupai ruku itu.

Akibat penolakkanya itu, pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asy’ari ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, dan akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam penjara Bubutan, Surabaya.

Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa habis-habisan hingga jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan. Namun berkat pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban tentara Jepang itupun luluh karena serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa para kiai alumni Tebuireng. Beberapa kiai dan santri meminta dipenjarakan bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda setia kawan dan pengabdian kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah berusia 70 tahun. Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam memulai gerakan bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah Jepang agaknya mulai takut, hingga kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H bertepatan dengan tanggal 18 Agustus 1942, Kiai Hasyim dibebaskan.

Pada bulan Oktober 1943, ketika NU dan Muhammadiyah bersepakat membentuk organisasi gabungan menggantikan MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) dan diberi nama MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang non politik, pimpinan tertingginya dipercayakan kepada KHM. Hasyim Asy’ari. Dan pada tahun 1944 beliau diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi Ketua SHUMUBU (Kantor Pusat Urusan Agama).

Pada masa-masa akhir pemerintahan Jepang di Indonesia, Masyumi berhasil membujuk Jepang untuk melatih pemuda-pemuda Islam khususnya para santri dengan latihan kemiliteran yang kemudian diberi nama Hizbullah. Tanda anggota Hizbullah ditandatangani oleh KHM. Hasyim Asy’ari.

Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KHM. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmayullah. Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional”.

Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.

Senin, September 28, 2009

Biografi Syekh Kholil Bangkalan

Kiai Kholil lahir pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 H di Bangkalan Madura. Ayahnya bernama Abdul Latif bin Kiai Harun bin Kiai Muharram bin Kiai Asrol Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman ialah cucu Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu beliau sangat mengharap dan mohon kepada Allah SWT agar anaknya menjadi pemimpin umat serta mendambakan anaknya mengikuti jejak Sunan Gunung Jati.

Setelah tahun 1850 Kiai Kholil muda berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban, kemudian untuk menambah ilmu dan pengalaman beliau nyantri di Pesantren Cangaan Bangil, Pasuruan. Dari sini pindah lagi ke Pesantren Keboncandi Pasuruan. Selama di Keboncandi beliau juga berguru kepada Kiai Nur Hasan di Sidogiri, Pasuruan. Selama di Keboncandi, beliau mencukupi kebutuhan hidup dan belajarnya sendiri dengan menjadi buruh batik, agar tidak merepotkan orang tuanya, meskipun ayahnya cukup mampu membiayainya.

Kemandirian Kiai Kholil nampak ketika beliau berkeinginan belajar ke Makkah, beliau tidak menyatakan niatnya kepada orang tuanya apalagi minta biaya, tetapi beliau memutuskan belajar di sebuah pesantren di Banyuwangi. Selama nyantri di Banyuwangi ini belaiau juga menjadi buruh pemetik kelapa pada gurunya, dengan diberi upah 2,5 sen setiap pohon, upah ini selalu ditabung.

Tahun 1859 ketika berusia 24 tahun Kiai Kholil memutuskan untuk berangkat ke Makkah dengan biaya tabungannya, tetapi sebelum berangkat oleh orang tuanya Kiai Kholil dinikahkan dengan Nyai Asyik. Di Makkah beliau belajar pada syekh dari berbagai madzhab di Masjidil Haram, tetapi beliau lebih banyak mengaji kepada syekh yang bermadzhab Syafi'i.

Sepulang dari Tanah Suci, Kiai Kholil dikenal sebagai ahli fiqih dan thoriqot yang hebat, bahkan ia dapat memadukan kedua ilmu itu dengan serasi dan beliau juga hafidz (hafal Al-Quran 30 juz). Kiai Kholil kemudian mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan.

Setelah puterinya yang bernama Siti Khotimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri Kiai Muntaha, pesantren di Desa Cengkebuan itu diserahkan kepada menantunya. Sedangkan Kiai Kholil sendiri mendirikan pesantren di Desa Kademangan, hampir di pusat kota sekitar 200 m sebelah barat alun-alun Kota Bangkalan. Di pesantren yang baru ini beliau cepat memperoleh santri. Santri yang pertama dari Jawa tercatat nama Hasyim Asy’ari dari Jombang.

Pada tahun 1924 di Surabaya ada sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar yang didirikan oleh seorang kiai muda Abduk Wahab Hasbullah. Dalam perkembangannya, ketika Kiai Wahab Hasbullah beserta Kiai Hasyim Asy’ari bermaksud mendirikan jam’iyah, Kiai Kholil memberikan restu dengan cara memberikan tongkat dan tasbih melalui Kiai As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari.

Pada tanggal 29 Romadlon 1343 H dalam usia 91 tahun, karena usia lanjut belaiu wafat. Hampir semua pesantren di Indonesia yang ada sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren Kiai Kholil.

Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.

Minggu, September 27, 2009

Biografi Imam Syafi'i

Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan seba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.

Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.

Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan Hadits), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.

Berkaitan dengan bid’ah, Imam Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bid’ah terpuji dan sesat, dikatakan terpuji jika bid’ah tersebut selaras dengan prinsip prinsip Al Quran dan Sunnah dan sebaliknya. dalam soal taklid, beliau selalu memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak senang murid muridnya bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah menyuruh untuk bersikap kritis dan berhati hati dalam menerima suatu pendapat, sebagaimana ungkapan beliau ” Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut “.

Diantara karya karya Imam Syafi’i yaitu Al Risalah, Al Umm yang mencakup isi beberapa kitabnya, selain itu juga buku Al Musnad berisi tentang hadis hadits Rasulullah yang dihimpun dalam kitab Umm serta ikhtilaf Al hadits.

Sumber: http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-syafii.html